26 Januari 2009 adalah hari dimana kedua raksasa langit (baca : Matahari dan Bulan) kembali 'bertemu' dalam peristiwa Gerhana Matahari Cincin (anular). Jejak lintasan bayangan inti (umbra) gerhana membentang dari lepas pantai Afrika selatan hingga ke Laut Jawa di utara Jakarta.
Di Indonesia gerhana ini hanya bisa dinikmati penduduk Jawa dan Sumatera sejak 15:20 WIB (ketika kontak pertama umbra terjadi) hingga 17:50 WIB (kotak umbra terakhir), dengan puncak gerhana di sekitar 16:40 WIB. Namun Matahari hanya benar2 bisa dilihat sebagai cincin di kala puncak gerhana jika diamati di daerah antara Palembang-Gunung anak Krakatau dan sebelah barat dayanya.
Di luar daerah itu, yang nampak hanyalah Matahari yang dicaplok bulatan hitam sehingga cahayanya lebih redup. Gerhana terjadi di sore hari, kala cahaya Matahari tidak terlalu menyengat dan moga2 saja cuaca cerah, sehingga enak diamati. Dan juga, moga2 saja tak terulang lagi "kekonyolan 11 Juni 1983" saat rezim berkuasa melarang orang2 keluar rumah kala peristiwa Gerhana Matahari Total dan enak saja menyebar isu gerhana bisa membutakan. Namun anak Krakatau sudah menebar pesonanya sejak sekarang.
Sejak awal Oktober telah terekam gempa2 vulkanik dalam dan dangkal, satu pertanda bahwa fluida (baca : magma) sedang bergerak menuju kepundan dari reservoarnya nun jauh di kedalaman 30 km. Gempa hembusan mulai terekam sejak 23 Oktober dan pengamatan visual saat itu menunjukkan adanya kolom asap (plume) setinggi 200 m yang muncul tiap 3 - 6 menit dari puncak gunung api ini, pertanda magma telah muncul ke permukaan sebagai letusan. Pengamatan visual juga menunjukkan adanya kawah baru, semula berdiameter 75 m dan kini mungkin sudah mencapai 150 m. Dari kawah baru inilah material letusan dimuntahkan ke langit.
Krakatau selalu dikaitkan dengan horor 1883 yang mencapai puncaknya pada Senin 27 Agustus 1883 saat gunung ini meletus paroksimal (besar-besaran) dengan menyemburkan 20 kilometer kubik tephra ke ketinggian 80 km sembari melepaskan energi 200 megaton TNT, 10.000 kali lebih dasyat ketimbang ledakan Hiroshima.
Letusan menyebabkan 3 kerucut vulkanis (Rakata, Danan dan Perbuwatan) beserta 11 kawahnya lenyap, amblas ke dalam laut, membentuk kaldera sebesar 7 km dan malah diiringi olakan hebat pada perairan setempat yang menerbitkan momok lain : tsunami. Tercatat 4 letusan sangat besar terjadi pada waktu itu, dan semuanya diiringi dengan hempasan tsunami. Tsunami terdahsyat memiliki run-up vertikal (tinggi gelombang) 33 meter, rekor yang baru terpecahkan dalam tsunami 1899 di Ambon (run-up = 60 meter). Tsunami ini merenggut korban 36.000 jiwa dalam sekejap.
Letusan dahsyat juga menghasilkan gelombang kejut (shock waves) di atmosfer, yang selain mengacaukan jarum barometer di Batavia, juga menimbulkan gelombang mirip tsunami di seluruh penjuru dunia. Dahsyatnya gelombang kejut ini membuatnya mampu bergerak mengelilingi Bumi hingga 7 kali selama 5 hari kemudian, dan setiap kali seluruh gelombang kejut bertemu di titik antipode Krakatau (yakni di dekat Bogota, Colombia) muncul 'tepukan-tepukan' udara yang tak kalah menggidikkan. Tephra yang tersembur ke atmosfer memblokir cahaya Matahari hingga terjadi penurunan suhu global sebesar 1,3º C yang bertahan hingga lima tahun kemudian.
Namun, Krakatau 1883 ternyata bukanlah yang terdahsyat. Sudah lama diketahui ada sesuatu yang aneh di sekitar tahun 535 - 536 CE. Kala itu atmosfer Bumi mendadak menggelap sehingga cahaya Matahari yang jatuh ke Bumi diperkirakan tinggal 25 % saja dari intensitasnya semula. Uskup John dari Efesus di Syria mencatat Matahari mendadak jadi gelap selama 18 bulan kemudian, dan setiap harinya sang surya ini hanya menampakkan wajahnya selama 4 jam saja, itu pun samar-samar. Sebuah catatan di Cina menyebut suara dentuman sangat keras terdengar dari arah barat daya. Sementara di Jawa, buku Pustaka Raja (Pararaton ?) mencatat adanyasuara menggelegar dari arah gunung Batuwara, disertai guncangan Bumi, kegelapantotal, petir, kilat disusulhujan badai dan banjir besar di laut (tsunami ?). Catatan itu merujuk ke sekitar tahun 535 CE.
Kegelapan itu berimplikasi sangat serius pada kemaharajaan Romawi Timur dan Persia yang sedang memuncak. Wabah sampar bergentayangan dimana-mana dan merenggut banyak korban jiwa pada periode yang takkan pernah dilupakan Eropa. Di Cina dan India kelaparan besar berkecamuk, melebihi tragedi kelaparan Ethiopia 1980-an. Di Jazirah Arabia selatan, kerajaan-kerajaan besar runtuh. Komunitas Kristen Arian juga berakhir. Sementara nun jauh di benua Amerika, Teotihuacan berakhir. Metropolitan Tikal yang dibangun bangsa Maya dengan susah payah pun runtuh. Demikian pula peradaban Nazca.
Apa penyebab semua peristiwa dahsyat ini? Para astrofisikawan seperti Dallas Abbott semula menduga ini semua terkait dengan tumbukan benda langit, sebagaimana yang meruntuhkan peradaban manusia di zaman perunggu dan belakangan diketahui terkoneksi dengan terbentuknya Kawah Burckle (29 km) di kedalaman Samudera Hindia. Namun petunjuk terang datang dari lembaran2 es di Antartika dan Arktika. Pada contoh2 es dari tahun 535 - 540 CE dijumpai ion-ion Belerang vulkanik sangat melimpah, menunjukkan peristiwa kegelapan itu lebih terkait dengan aktivitas vulkanik yang luar biasa. Dan karena Belerang2 itu ditemukan di kedua kutub Bumi, hanya gunung api di wilayah ekuator saja yang bisa melakukan itu. Itulah Krakatau (purba).
Hal ini mendorong Kohletz, vulkanolog di Los Alamos National laboratory, membuat simulasi komputer letusan Krakatau purba 535 CE berdasarkan hasil penelitian dan pemetaan geologi seperti dari Escher dan RDM Verbeek di masa Hindia Belanda. Letusan itu memang luar biasa, melontarkan sedikitnya 200 kilometer kubik tephra ke langit dengan energi letusan mencapai 400 megaton TNT. Letusan paroksimal terjadi selama 34 jam (bandingkan dengan Krakatau 1883 yang hanya 10 jam), namun keseluruhan letusan berlangsung hingga 10 hari kemudian. Terbentuk kaldera berdiameter maksimum 60 km. Tephra yang disemburkan ke langit membentuk lapisan setebal 20 - 50 meter, yang berakibat temperatur global menurun drastis hingga 5 - 10º C dari normalnya sampai 10 - 20 tahun kemudian (semua angka ini diambil dari tulisan pak Awang dalam IAGI-Net). Harus dicatat bahwa volume 200 kilometer kubik ini adalah volume minimal. Letusan Tabora 1815 juga menyemburkan 200 kilometer kubik tephra ke langit dan cahaya Matahari yang jatuh ke Bumi saat itu masih 75 % dari intensitas semula.
Bagi Indonesia, meski belum banyak diteliti, dampak letusan Krakatau purba 535 CE bisa diduga cukup luar biasa. Letusan inilah yang diduga kuat mengakhiri kerajaan Hindu Tarumanegara yang baru saja mencapai puncak kejayaan di bawah Purnawarman. Lahan pertanian di kerajaan ini musnah oleh tumpukan kerikil dan abu vulkanis, sementara pelabuhan-pelabuhannya musnah terhempas gelombang pasang produk letusan. Pola-pola kerusakan di situs percandian Batujaya (Karawang), yang pada abad ke-6 CE berada di tepi Laut Jawa dan merupakan percandian yang mengagumkan dan lebih luas ketimbang Borobudur, menunjukkan keganasan tsunami itu. Bukan tidak mungkin kerajaan Kutai di Kalimantan pun ambruk akibat letusan ini, demikian pula Kalingga di Jawa Tengah.
0 komentar
Post a Comment