Milenium Kartini

Tuesday, April 21, 2009 | with 0 komentar »

God creates dinosaur
God destroys dinosaur
God creates man
Man destroys God
Man creates dinosaur
Dinosaur eats man
Woman inherits the earth…
What a silly quote..!

Kutipan tersebut adalah sebuah Chaos Theory yg diungkapkan Prof.Ian Malcolm dan Dr.Ellie Sattler dalam film, Jurrasic Park. Tapi saya menterjemahkan ungkapan tersebut sbb; ketika manusia (pria) mengacaukan kodratnya dengan menjadi angkuh dan berlagak jadi Tuhan, lalu hancur sebagai konsekuensi keangkuhannya, wanita lah yang memenangkan segalanya. Sebuah ekspresi keperkasaan wanita..

Dalam sejarah Indonesia kita mengenal sosok RA Kartini dengan “keperkasaannya” mendobrak tradisi yang memasung para wanita dari keterbelakangan berpikir dan kebodohan. Tentu saja apa yang beliau perjuangkan tidak akan terlaksana tanpa ‘dukungan’ ayah dan suaminya. Oh ya.. jangan mengira Kartini memperjuangkan cita-citanya dengan berkeras menentang para pria di jamannya. Justru hal yang patut dikagumi adalah pada akhirnya Kartini berhasil dalam perjuangannya karena Beliau berbakti kepada ayah dan suaminya.

Lahir di Jepara 21 April 1879, Kartini beruntung memiliki ayah berpandangan maju seperti Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang mengijinkan dia bersekolah di Europese Lagere School sampai kelas 12. Di sinilah Kartini belajar berbahasa Belanda yang kelak memungkinkan dia untuk curhat mengenai cita-cita memajukan wanita sebangsanya dan hal-hal lain melalui surat dengan sahabat2nya dari Belanda. Kumpulan surat-surat inilah yang kelak dirangkum menjadi sebuah buku Door Duisternis Tot Licht “Habis gelap terbitlah terang”. Kepatuhan Kartini sebagai seorang anak menyebabkan dia tidak mendapat tentangan dari sang ayah untuk belajar dan mengembangkan pikiran dan pengetahuannya dengan berlangganan surat kabar dan majalah-majalah berbahasa Belanda, yang kadang-kadang berisi artikel kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat. Bahkan Kartini diijinkan belajar menjadi guru di Betawi, walaupun tidak diijinkan melanjutkan studi ke Belanda.

Tahun 1903 di usia 24, Kartini memupuskan niatannya sendiri untuk melanjutkan studi menjadi guru karena ia sudah akan menikah, walaupun Departemen Pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini adiknya untuk belajar di Betawi. Sekali lagi keputusan Kartini untuk tidak menentang harapan keluarganya berbuah manis. Walaupun sempat berkecil hati akan keinginan sang ayah agar Kartini segera menikah muda, menjelang pernikahannya Kartini merubah penilaiannya akan “adat jawa” yang telah mengungkungnya dan menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-surat kepada sahabatnya Kartini menyebutkan bahwa sang suami, Bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan , tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku. Sayang, umur Kartini tidaklah sepanjang cita-citanya. Beliau meninggal 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak satu-satunya.

Apa moral yang bisa dipetik dari sepak terjang singkat seorang Kartini? Seharusnya banyak sekali yang bisa diteladani bahkan tidak hanya oleh para wanita tetapi bahkan kaum pria. Keinginan kuat memperjuangkan aspirasi mereka yang perlu diperjuangkan, ketulusan dalam berjuang karena saya yakin saat itu Beliau tidak mengejar ambisi dan nama besar tetapi murni demi mereka yang menurutnya tertindas, kebijaksanaan dan smart thinking karena tidak mengedepankan kekerasan hati dalam berjuang tetapi kerendahan hati dan akal sehat. Itulah bentuk “keperkasaan” seorang Kartini.

Saat pemilu kemarin, ketika akan mencontreng para wakil rakyat yang harus dipilih, saya bingung sekali akan banyak sekali nama dan wajah para caleg yang rasanya tidak jelas datang dari mana dan apa misi yang akan mereka bawa nanti dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Apa yang saya lakukan? Walaupun bisa saja hanya mencontreng partai pilihan tanpa perlu mencontreng calegnya, saya memilih caleg wanita dengan wajah yang terlihat tulus namun berkarakter kuat, seperti Kartini. Sebenarnya konyol, karena bisa saja penilaian sesaat saya saat itu salah (hanya sekitar 10-15 detik. Hehehe..). Tetapi intinya harapan saya tersebut bisa saja mewakili harapan besar dari sebagian besar rakyat Indonesia akan figur yang bisa mewakili mereka dalam kursi pemerintahan, entah itu seorang wanita atau pria.

Makanya, malu, sedih dan kecewa sekali melihat berita-berita belakangan ini mengenai ratusan caleg yang sampai harus kehilangan akal sehat karena kehilangan kesempatan untuk duduk dalam pemerintahan. Bahkan beberapa diantaranya adalah wanita! Jika saya dan banyak rakyat Indonesia lainnya salah memilih karakter-karakter pribadi semacam itu untuk duduk di pemerintahan, mau jadi apa negara Indonesia tercinta ini?

(riwayat Kartini dikutip dari Wikipedia)
source: Yoseph Mt Sugita

Free Web Hosting